I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan belajar-mengajar merupakan inti dan pelaksanaan kurikulum Baik-buruknya mutu pendidikan atau mutu lulusan dipengaruhi oleh mutu kegiatan belajar-mengajar. Bila mutu lulusanya bagus dapat diproduksi bagus mutu kegiatan belajar-mengajarnya juga bagus: atau sebaliknya, bila mutu kegiatan belajar-mengajarnya bagus, maka mutu lulusannya juga akan bagus.
Guru Sekolah Dasar (SD) selama ini disiapkan untuk mengajar siswa-siswi yang ada di SD. Pada umumna para siswa di SD adalah anak-anak normal yang tidak memiliki kelainan/penyimpangan yang signifikan (berarti) baik dalam segi fisik. Intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris. Mereka pada umumnya memiliki kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris yang relatif homogen.
Seiring dengan kemajuan jaman, reformasi kelemhagaan yang melayani anak berkelainan banyak dilakukan. Pada masa-masa sebelumya bentuk kelembagaan yang melayani pendidikan bagi anak berkelainan masih banyak yang bersifat segregasi atau terpisah dari masyarakat pada umumnya. Tetapi memasuki akhir milenium dua, misi dan visi kelembagaan sudah cenderung kepada bentuk integrasi. Suatu Bentuk dimana anak luar biasa atau para penyandang cacat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan masyarakat pada umumnya. Muncul berbagai istilah yang berhubungan dengan bentuk kelembagaan dan layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi mereka, Seperti normalisasi, dan integrasi, mainstreaming, least restrictive environment, institusionalisasi, dan ink/usi. Dewasa ini, ink/usi merupakan. salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berkelainan yang dipandang ideal untuk dilaksanakan sesuai dengan Pernyataan Sa1amanca.
Di Sekolah inklusif para siswa memilik kemampuan yang heterogen, karena para siswanya di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkelainan yang memiliki beragam kelainan/penyimpangan, baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis.
Mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen berheda dengan mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan homogen. Para guru SD, pada umumnya merasa kurang mampu mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen di kelas inklusif karena ketika mereka sekolah/kuliah di lembaga pendidikan guru baik SPG, PGSD, maupun LPTK lainnya tidak dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan agar mampu untuk mengajar di kelas inklusif.
Sehuhungan dengan permasalahan di atas, maka disusun Buku Kegiatan Belajar Mengajar, yang diharapkan dapat dipergunakan oleh para guru dan praktisi pendidikan lainnya sebagai acuan dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan Belajar-mengajar kelas inklusif.
B. Tujuan Penulisan Buku
Buku ini ditulis dengan tujuan sebagai bahan acuan bagi para pembaca, terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan. dalam merancang, melaksanakan. dan mengevaluasi kegiatan belajar-mengajar kelas inklusif.
II. PERENCANAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
A. Rancangan Pembelajaran
Kegiatan belajar-mengajar hendaknya dirancang sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa, serta mengacu kepada kurikulum yang telah dikembangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan belajar mengajar pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
1. Merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar
B. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Kegiatan belaiar-mengajar dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusif secara umum sama dengan prinsip- prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat anak berkelainan yang mengalami kelainan/penyimpangan baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan/atau sensoris neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
1. Prinsip Umum
a. Prinsip Motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada sisa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
b. Prinsip Latar/Koteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu penuh bagi anak.
c. Prinsip Keterarahan
Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas. rnenapkan hahan dan alat ang sesual serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
d. Prinsip Hubungan Sosial
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
e. Prinsip Belajar Sambil Bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan atau menemukan seseatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.
f. Prinsip Individualisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran. kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
g. Prinsip Menemukan
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlihat secata aktif baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional.
h. Prinsip Pemecahan Masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuan.
2. Prinsip Khusus
a. Tunanetra
1) Prinsip Kekonkritan
Anak tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan perabaan. Bagi mereka untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda-benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan Melalui observasi perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sitat permukaan, kelenturan, suhu, dan sebagainya.
Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam proses belajar-mengajar guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda-benda konkrit (baik asli maupun tiruan) sebagai alat bantu atau media dan sumber belajar dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
2) Prinsip Pengalaman yang Menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang anak normal yang masuk ke toko, tidak saja dapat melihat rak-rak dan benda-benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat huhungan antara rak-rak dengan benda-benda di ruangan. Anak tunanetra tidak mengerti hubungan-huhungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak untuk “mengalami” suasana tersehut secara nyata dan menerangkan huhungan-huhungan tersebut.
3) Prinsip Belajar Sambil Melakukan
Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil berkerja. Perbedaannya adalah, bagi anak tunanetra, melakukan sesuatu adalah pengalamanya nyata yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam rnenangkap informasi. Anak normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat gambar atau foto. Anak tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan secara langsung di lingkungan nyata.
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses belajar-mengajar tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situsi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan yang diajarkannya.
b. Tiinarungu/Gangguan Komunikasi
1) Prinsip Keterarahanwajah
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengarannya (kurang dengar atau bahkan tuli), Sehingga organ pendengarannya kurang/tidak berfungsi dengan baik. Bagi yang sudah terlatih, mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Oleh karena itu ada yang menyebut anak tunarungu dengan istilah “pemata’, karena matanya seolah-olah tanpa berkedip melihat gerak bibir lawan bicaranya.
Prinsip ini menuntut guru ketika memberi penjelasan hendaknya menghadap ke anak (face to face) sehingga anak dapat melihat gerak bibir guru. Demikian pula halnya dengan anak yang mengalami gangguan komunikasi, karena organ bicaranya kurang berfungsi sempurna, akibatnya bicaranya sulit dipahami (karena kurang sempurna) oleh lawan bicaranya. Agar guru dapat memahaminya, maka anak diminta menghadap guru (face to face) ketika berbicara.
2) Prinsip Keterarahansuara
Setiap kali ada suara/bunyi, pasti ada sumber suara/bunyinya. Dengan sisa pendengarannya, anak hendaknya dibiasakan mengkonsentrasikan sisa pendengarannya ke arah sumber suara/bunyi, sehingga anak dapat merasakan adanya getaran suara, Suara/bunyi yang dihayatinya sangat membantu proses belajar-mengajar anak terutama dalam pembentukan sikap, prihadi, tingkah laku, dan perkembangan bahasanya.
Dalam proses belajar-mengajar, ketika berbicara guru hendaknya rnenggunakan lafal/ejaan yang jelas dan cukup keras, sehingga arah suaranya dapat dikenali anak.
Demikian pula, bagi anak yang mengalami gangguan komunikasi, agar bicaranya dapat dipahami oleh lawan bicaranva maka anak hendaknya ketika berbicara selalu menghadap ke lawan bicaranya agar suaranya terarah.
3) Prinsip Keperagaan
Anak tunarungu karena mengalami gangguan organ pcndengarannya maka mereka lebih banyak menggunakan indera penglihatannya dalam belajar.
Oleh karena itu, proses belajar-mengajar hendaknya disertai peragaan (menggunakan alat peragaan) agar lebih mudah dipahami anak. disamping dapat menarik perhatian anak.
c. Anak Berbakat
1) Prinsip Percepatan (AkseIeras) Be1ajar
Anak berbakat adalah anak yang memiliki kemampuan (intelegensi), kreatvitas, dan tanggung jawab (task commitmeni) terhadap tugas di atas anak-anak seusianya. Salah satu karakteristik yang sangat menonjol adalah mereka memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar anak seusianya. Dengan diterangkan sekali saja oleh guru. mereka telah dapat menangkap maksudnya: sementara anak-anak yang lainnya masih perlu dijelaskan lagi oleh guru. Pada saat guru mengulangi penjelasan kepada teman-temannya itu, mereka memiliki waktu tertuang. Bila tidak diantisipasi oleh guru, kadang-kadang waktu tertuang ini dimanfaatkan untuk aktivitas sekehendaknya., misalnya melempar benda-benda kecil kepada teman dekatnya. mencubit teman kanan-kirinya, dan sebagainya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki, dalam proses belajar-mengajar hendaknya guru dapat memanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan memberi materi penilaian tambahan (materi pelajaran berikutnya). Sehingga kalau terakumulasi semua, mungkin materi pelajaran selama satu semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan: materi 1 tahun selesai dalam waktu 8 bulan: materi 6 tahun selesai dalam waktu 4 tahun. Hal disebut dengan istilah percepatan (akselerasi) belajar.
2) Prinsip Pengayaan (Enrichment)
Ada anak berhakat yang tidak tertarik dengan program percepatan belajar Mereka kurang berminat mempelajari materi di atasnya (berikutnya) mendahului teman-temannya. Mereka merasa lehih enjoy dan fun dengan tetap mempelajari materi yang sama dengan teman sekelasnya, namun diperdalam dan diperluas dengan mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi (analisis. sintesis. evaluasi, dan pemecahan masalah), tidak hanya mengembangkan proses berfikir tingkat rendah (pengetahuan dan pemahaman), karena anak berbakat lebih menonjol dalam proses berfikir tingkat tinggi tersebut.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan betajar mengajar dapat rnemanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan cara memberi program-program pengayaan kepada mereka, dengan mengemhangkan proses berfikir tingkat tinggi seperti di atas.
d. Tunagrahita/Anak lamban belajar (Slow learner)
I) Prinsip Kasih Sayang
Tunagrahita/anak lamban belajar adalah anak yang mengalami kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni inteligensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka senang mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-kadang guru merasa jengkel karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun. mereka tetap saja kesulitan dalam menyelesaikannya.
Untuk itu, mengajar anak tunagrahita/lamban belajar membutuhkan kasih sayang yang tulus dan guru. Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela berkorban, dan memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran dan guru.
2) Prinsip Keperagaan
Kelemahan anak Tunagrahita/lamban belajar antara lain adalah dalam hal kemampuan berfikir abstrak, Mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar akan lebih mudah tertarik perhatiannva apabila dalam kegiatan belajar-mengajar menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang sesuai.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar mengajar selalu rnengaitkan relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke lingkungan nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Bila tidak memungkinkan, guru dapat membawa berhagai alat peraga.
3) Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
Meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita memiliki kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas.
Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikt demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin. melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.
e. Tunadaksa
Prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaraan bagi anak tunadaksa tidak lepas dan juga bentuk pelayanan, yaitu: (1) pelayanan medik, (2) pelayanan pendidikan. dan (3) pelayanaan sosial, yang pada dasarnya juga tidak dapat lepas dengan prinsip habilitasi dan rehahilitasi di atas.
f. Tunalaras
1). Prinsip Kebutuhan dan Keaktifan
Anak tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan dan keinginannya tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Untuk memenuhi Kebutuhannnya itu, ia menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat kepentingan orang lain. Kalau perlu melanggar semua peraturan yang ada meskipun ia harus mencuri misalnya. Hal ini jelas merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, guru harus memberi keaktifan kepada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan, agama, peraturan perundangan-undangan yang berlaku, segingga dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
2) Prinsip Kebebasan yang Terarah
Anak tunalaras memiliki sikap tidak mau dikekang. Ia selalu menggunakan peluang yang ada untuk berbuat sesuatu sehingga hatinya merasa puas. Oleh karena itu, guru harus berhati-hati ketika akan melarangnya. Nasehatilah kalau memang perlu dilarang. Di samping itu, guru hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala perilaku anak ke arah positif yang berguna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
3) Prinsip Penggunaan Waktu Luang
Anak tunalaras biasanya tidak bisa diam, dia termasuk hiperaktif. Ada saja yang dikerjakan. Bahkan solah-olah mereka kekurangan waktu sehingga lupa tidur, istirahat, dan sebaginya. Oleh karena itu, guru harus membimbing anak degan mengisi waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
4) Prinsip Kekeluargaa dan Kepatuhan
Anak tunalaras berasal dari keluarga yang tidak harmonis, hubungan orang tua retak (broken home). Akibatnya emosinya tidak laras, jiwanya tidak tenang, rasa kekeluargaannyatidak berkembang, merasa hidupnya tidak berguna. Akibat lebih jauh mereka bersifat perusak, benci kepada orang lain.
Oleh karena itu, guru harus dapat meyelami jiwa anak, dimana letak ketidakselarasaan kehidupan emosinya. Selanjutnya, mengembalikannya kepada kehidupan emosi yang tenang, laras, sehingga rasa kekeluargaanya menjadi pulih kembali. Misalnya siswa disuruh membaca cerita yang edukatif, memelihara binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
5) Prinsip Setia Kawan dan Idola serta Perlindungan
Karena tinggal di rumah tidak tahan, anak tunalaras biasanya lari keluar rumah. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang (kelompok) yang dirasa dapat memebuat dirinya merasa aman. Di dalam kelompok tersebuat ia merasa menemukan tempat berlindung menggantikan orang tuanya, ia merasa tentram, timbul rasa setia kawan. Karena setianya kepada kelompok, ia berbuat apa saja sesuai perintah katua kelompoknya yang dijadikan idolanya.
Oleh karena itu, guru hendaknya secara perlahan-lahan berupaya menggantikan posisi ketua kelompoknya, menjadi tokoh idola siswa, dengan cara melindungi siswa, dan berangsur-angsur kelompoknya berganti dengan teman-teman sekelasnya, dan setia kawannya berganti kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya mereka akan merasa senang bersekolah.
6) Prinsip Minat dan Kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak terutama yang berhubungan dengan pelajaran. Jangan sampai karena tugas-tugas (PR) yang diberikan oleh terlalu banyak, akhirnya justru mereka benci kepada guru atau benci kepada pelajaran tertentu. Sebaliknya, guru harus menggali minat dan kemampuan siswa terhadap pelajaran, untuk dijadikan dasar memberi tugas-tugas tertentu. Dengan memberi tugas yang sesuai, mereka akan merasa senang, yang pada akhirnya lama-kelamaan mereka akan terbiasa belajar.
7) Prinsip Emosional, Sosial, dan Perilaku
Karena problem emosi yang disandang anak tunalaras, maka ia mengalami ketidakseimbangan emosi. Akibatnya siswa berprilaku menyimpang baik secara individual maupun secara sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, guru harus berusaha mengidentifikasi problem emosi yang disandang anak, kemudian berupaya menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik sesuai dengan norma-norma yang erlaku di masyarakat dan agama, dengan cara diberi tugas-tugas tertentu yang terpuji, baik secara individual maupun secara kelompok.
8) Prinsip Disiplin
Pada umumnya anak tunalaras ingimn memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memenuhi keinginannya,tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, sehingga ia hidup lepas dari disiplin. Sikap ketidaktaatan dan lepas dari aturan merupakan sikap hidupnya sehari-hari.
Oleh karena itu, guru perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu diberi keteladanan dan pembinaan dengan sabar.
9) PrinsipKasih Sayang
Anak tunalaras umumnya haus akan kasih sayang, baik dari orang tua maupun dari keluarganya. Akibatnya anak akan selalu mencari kasih sayang dan menumpahkan keluhannya di luar rumah. Kalau ia tidak menemukannya akan menjadi agresif, cenderung hiperaktif, atau sebaliknya ia menjadi rendah diri, pendiam, atau meyendiri.
Oleh karena itu, guru supaya mendekati anak dengan penuh kasih sayang, kesabaran, sehingga kekosongan jiwa anak akan teisi atau terobati. Akibatnya, anak akan rajin ke sekolah karena merasa ada tempat untuk mencurahkan perasaanya. Pada akhirnya mereka akan menuruti nasehat guru untuk rajin belajar.
III. PELAKSANAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan
dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih. Seperti dijelaskan pada
Mengenal Pendidikan Inklusif, penempatan anak luar biasa di sekolah
inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
2. Kelas reguler dengan cluster
3. Kelas reguler dengan ull out
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
5. Kelas khusus dengan berhagai pengintegrasian
6. Kelas khusus penuh.
Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang lainyna belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan. Beberapa sisa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan tertentu. sementara beberapa sisa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja. Beberapa sisa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara berkelompok, Hilda Taba mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhuhungan dengan strategi individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan rnasalah. mengingat dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah.
Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi.
Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Reguler (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama, bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda. Oleh karena itu, setelah ditetapkan model penempatan anak luar biasa, yang perlu dilakukan berikutnya dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
A. Merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar
1. Merencanakan Pengelolaan Kelas
B. Melasanakan Kegiatan Belajar Mengajar
1. Berkomunikasi dengan Siswa
a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk terlihat secara aktif (misalnya dengan mengajukan pertanyaan, memberi tugas tertentu, mengadakan percohaan berdiskusi secara berpasangan atau dalam kelompok kecil, belajar berkooperatif)
b. Memberi penguatan kepada siswa agar terus terhihat secara aktif
c. Memberikan pengayaan (tugas-tugas tambahan) kepada siswa yang pandai
d. Memberikan latihan-latihan khusus (remidi) bagi siswa yang dianggap memerlukan.
4. Mendemostrasikan Penguasaan Materi Pelajaran dan Relevansinya dalam Kehidupan.
1. Bersikap Terbuka Toleran, dan Simpati terhadap Siswa
A. Latar Belakang
Kegiatan belajar-mengajar merupakan inti dan pelaksanaan kurikulum Baik-buruknya mutu pendidikan atau mutu lulusan dipengaruhi oleh mutu kegiatan belajar-mengajar. Bila mutu lulusanya bagus dapat diproduksi bagus mutu kegiatan belajar-mengajarnya juga bagus: atau sebaliknya, bila mutu kegiatan belajar-mengajarnya bagus, maka mutu lulusannya juga akan bagus.
Guru Sekolah Dasar (SD) selama ini disiapkan untuk mengajar siswa-siswi yang ada di SD. Pada umumna para siswa di SD adalah anak-anak normal yang tidak memiliki kelainan/penyimpangan yang signifikan (berarti) baik dalam segi fisik. Intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris. Mereka pada umumnya memiliki kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris yang relatif homogen.
Seiring dengan kemajuan jaman, reformasi kelemhagaan yang melayani anak berkelainan banyak dilakukan. Pada masa-masa sebelumya bentuk kelembagaan yang melayani pendidikan bagi anak berkelainan masih banyak yang bersifat segregasi atau terpisah dari masyarakat pada umumnya. Tetapi memasuki akhir milenium dua, misi dan visi kelembagaan sudah cenderung kepada bentuk integrasi. Suatu Bentuk dimana anak luar biasa atau para penyandang cacat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan masyarakat pada umumnya. Muncul berbagai istilah yang berhubungan dengan bentuk kelembagaan dan layanan pendidikan yang diperuntukkan bagi mereka, Seperti normalisasi, dan integrasi, mainstreaming, least restrictive environment, institusionalisasi, dan ink/usi. Dewasa ini, ink/usi merupakan. salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berkelainan yang dipandang ideal untuk dilaksanakan sesuai dengan Pernyataan Sa1amanca.
Di Sekolah inklusif para siswa memilik kemampuan yang heterogen, karena para siswanya di samping anak-anak normal juga terdapat anak-anak berkelainan yang memiliki beragam kelainan/penyimpangan, baik fisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis.
Mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen berheda dengan mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan homogen. Para guru SD, pada umumnya merasa kurang mampu mengajar anak-anak yang memiliki kemampuan heterogen di kelas inklusif karena ketika mereka sekolah/kuliah di lembaga pendidikan guru baik SPG, PGSD, maupun LPTK lainnya tidak dibekali dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan agar mampu untuk mengajar di kelas inklusif.
Sehuhungan dengan permasalahan di atas, maka disusun Buku Kegiatan Belajar Mengajar, yang diharapkan dapat dipergunakan oleh para guru dan praktisi pendidikan lainnya sebagai acuan dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan Belajar-mengajar kelas inklusif.
B. Tujuan Penulisan Buku
Buku ini ditulis dengan tujuan sebagai bahan acuan bagi para pembaca, terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan. dalam merancang, melaksanakan. dan mengevaluasi kegiatan belajar-mengajar kelas inklusif.
II. PERENCANAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
A. Rancangan Pembelajaran
Kegiatan belajar-mengajar hendaknya dirancang sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa, serta mengacu kepada kurikulum yang telah dikembangkan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan belajar mengajar pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
1. Merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar
- Merencanakan pengelolaan kelas
- Merencanakan pengorganisasan bahan
- Merencanakan pengelolaan kegiatan belajar mengajar
- Merencanakan penggunaan sumber belajar
- Merencanakan penilaian
- Menyajikan materi/bahan pelajaran
- Mengimplementasikan metode, sumber belajar dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakterisitik siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran
- Mendorong siswa untuk terlihat secara aktif
- Mcndemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan
- Mengelola waktu, ruang, bahan, dan perlengkapan pengajaran.
- Bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa
- Menampilkan kegairahan dan kesungguhan
- Mengelola interaksi antarpribadi
- Melakukan penilaian selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung, baik secara lisan tertulis, maupun melalui pengamatan
- Mengadakan tindak lanjut.
B. Prinsip-prinsip Pembelajaran
Kegiatan belaiar-mengajar dilaksanakan dengan maksud untuk mencapai tujuan pembelajaran. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusif secara umum sama dengan prinsip- prinsip pembelajaran yang berlaku bagi anak pada umumnya. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif terdapat anak berkelainan yang mengalami kelainan/penyimpangan baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan/atau sensoris neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
1. Prinsip Umum
a. Prinsip Motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada sisa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
b. Prinsip Latar/Koteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu penuh bagi anak.
c. Prinsip Keterarahan
Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas. rnenapkan hahan dan alat ang sesual serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat.
d. Prinsip Hubungan Sosial
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.
e. Prinsip Belajar Sambil Bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan atau menemukan seseatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.
f. Prinsip Individualisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran. kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai.
g. Prinsip Menemukan
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlihat secata aktif baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional.
h. Prinsip Pemecahan Masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya sesuai dengan kemampuan.
2. Prinsip Khusus
a. Tunanetra
1) Prinsip Kekonkritan
Anak tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan perabaan. Bagi mereka untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda-benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan Melalui observasi perabaan benda-benda riil, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sitat permukaan, kelenturan, suhu, dan sebagainya.
Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam proses belajar-mengajar guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda-benda konkrit (baik asli maupun tiruan) sebagai alat bantu atau media dan sumber belajar dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
2) Prinsip Pengalaman yang Menyatu
Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang anak normal yang masuk ke toko, tidak saja dapat melihat rak-rak dan benda-benda riil, tetapi juga dalam sekejap mampu melihat huhungan antara rak-rak dengan benda-benda di ruangan. Anak tunanetra tidak mengerti hubungan-huhungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak untuk “mengalami” suasana tersehut secara nyata dan menerangkan huhungan-huhungan tersebut.
3) Prinsip Belajar Sambil Melakukan
Prinsip ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan prinsip belajar sambil berkerja. Perbedaannya adalah, bagi anak tunanetra, melakukan sesuatu adalah pengalamanya nyata yang tidak mudah terlupakan seperti anak normal melihat sesuatu sebagai kebutuhan utama dalam rnenangkap informasi. Anak normal belajar mengenai keindahan lingkungan cukup hanya dengan melihat gambar atau foto. Anak tunanetra menuntut penjelasan dan penjelajahan secara langsung di lingkungan nyata.
Prinsip ini menuntut guru agar dalam proses belajar-mengajar tidak hanya bersifat informatif akan tetapi semaksimal mungkin anak diajak ke dalam situsi nyata sesuai dengan tuntutan tujuan yang ingin dicapai dan bahan yang diajarkannya.
b. Tiinarungu/Gangguan Komunikasi
1) Prinsip Keterarahanwajah
Anak tunarungu adalah anak yang mengalami gangguan pendengarannya (kurang dengar atau bahkan tuli), Sehingga organ pendengarannya kurang/tidak berfungsi dengan baik. Bagi yang sudah terlatih, mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan cara melihat gerak bibir (lip reading) lawan bicaranya. Oleh karena itu ada yang menyebut anak tunarungu dengan istilah “pemata’, karena matanya seolah-olah tanpa berkedip melihat gerak bibir lawan bicaranya.
Prinsip ini menuntut guru ketika memberi penjelasan hendaknya menghadap ke anak (face to face) sehingga anak dapat melihat gerak bibir guru. Demikian pula halnya dengan anak yang mengalami gangguan komunikasi, karena organ bicaranya kurang berfungsi sempurna, akibatnya bicaranya sulit dipahami (karena kurang sempurna) oleh lawan bicaranya. Agar guru dapat memahaminya, maka anak diminta menghadap guru (face to face) ketika berbicara.
2) Prinsip Keterarahansuara
Setiap kali ada suara/bunyi, pasti ada sumber suara/bunyinya. Dengan sisa pendengarannya, anak hendaknya dibiasakan mengkonsentrasikan sisa pendengarannya ke arah sumber suara/bunyi, sehingga anak dapat merasakan adanya getaran suara, Suara/bunyi yang dihayatinya sangat membantu proses belajar-mengajar anak terutama dalam pembentukan sikap, prihadi, tingkah laku, dan perkembangan bahasanya.
Dalam proses belajar-mengajar, ketika berbicara guru hendaknya rnenggunakan lafal/ejaan yang jelas dan cukup keras, sehingga arah suaranya dapat dikenali anak.
Demikian pula, bagi anak yang mengalami gangguan komunikasi, agar bicaranya dapat dipahami oleh lawan bicaranva maka anak hendaknya ketika berbicara selalu menghadap ke lawan bicaranya agar suaranya terarah.
3) Prinsip Keperagaan
Anak tunarungu karena mengalami gangguan organ pcndengarannya maka mereka lebih banyak menggunakan indera penglihatannya dalam belajar.
Oleh karena itu, proses belajar-mengajar hendaknya disertai peragaan (menggunakan alat peragaan) agar lebih mudah dipahami anak. disamping dapat menarik perhatian anak.
c. Anak Berbakat
1) Prinsip Percepatan (AkseIeras) Be1ajar
Anak berbakat adalah anak yang memiliki kemampuan (intelegensi), kreatvitas, dan tanggung jawab (task commitmeni) terhadap tugas di atas anak-anak seusianya. Salah satu karakteristik yang sangat menonjol adalah mereka memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar anak seusianya. Dengan diterangkan sekali saja oleh guru. mereka telah dapat menangkap maksudnya: sementara anak-anak yang lainnya masih perlu dijelaskan lagi oleh guru. Pada saat guru mengulangi penjelasan kepada teman-temannya itu, mereka memiliki waktu tertuang. Bila tidak diantisipasi oleh guru, kadang-kadang waktu tertuang ini dimanfaatkan untuk aktivitas sekehendaknya., misalnya melempar benda-benda kecil kepada teman dekatnya. mencubit teman kanan-kirinya, dan sebagainya.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki, dalam proses belajar-mengajar hendaknya guru dapat memanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan memberi materi penilaian tambahan (materi pelajaran berikutnya). Sehingga kalau terakumulasi semua, mungkin materi pelajaran selama satu semester dapat selesai dalam waktu 4 bulan: materi 1 tahun selesai dalam waktu 8 bulan: materi 6 tahun selesai dalam waktu 4 tahun. Hal disebut dengan istilah percepatan (akselerasi) belajar.
2) Prinsip Pengayaan (Enrichment)
Ada anak berhakat yang tidak tertarik dengan program percepatan belajar Mereka kurang berminat mempelajari materi di atasnya (berikutnya) mendahului teman-temannya. Mereka merasa lehih enjoy dan fun dengan tetap mempelajari materi yang sama dengan teman sekelasnya, namun diperdalam dan diperluas dengan mengembangkan proses berfikir tingkat tinggi (analisis. sintesis. evaluasi, dan pemecahan masalah), tidak hanya mengembangkan proses berfikir tingkat rendah (pengetahuan dan pemahaman), karena anak berbakat lebih menonjol dalam proses berfikir tingkat tinggi tersebut.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan betajar mengajar dapat rnemanfaatkan waktu luang anak berbakat dengan cara memberi program-program pengayaan kepada mereka, dengan mengemhangkan proses berfikir tingkat tinggi seperti di atas.
d. Tunagrahita/Anak lamban belajar (Slow learner)
I) Prinsip Kasih Sayang
Tunagrahita/anak lamban belajar adalah anak yang mengalami kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (inteligensi), yakni inteligensinya di bawah rata-rata anak seusianya (di bawah normal). Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka senang mengalami kesulitan. Oleh karena itu. kadang-kadang guru merasa jengkel karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun. mereka tetap saja kesulitan dalam menyelesaikannya.
Untuk itu, mengajar anak tunagrahita/lamban belajar membutuhkan kasih sayang yang tulus dan guru. Guru hendaknva berbahasa yang lembut, tercapai sabar, rela berkorban, dan memberi contoh perilaku yang baik ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran dan guru.
2) Prinsip Keperagaan
Kelemahan anak Tunagrahita/lamban belajar antara lain adalah dalam hal kemampuan berfikir abstrak, Mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar akan lebih mudah tertarik perhatiannva apabila dalam kegiatan belajar-mengajar menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang sesuai.
Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar mengajar selalu rnengaitkan relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke lingkungan nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun lingkungan alam. Bila tidak memungkinkan, guru dapat membawa berhagai alat peraga.
3) Prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi
Meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita memiliki kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang masih dapat dikembangkan.
Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas.
Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan cara, sedikt demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau belum berfungsi optimal.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin. melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.
e. Tunadaksa
Prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaraan bagi anak tunadaksa tidak lepas dan juga bentuk pelayanan, yaitu: (1) pelayanan medik, (2) pelayanan pendidikan. dan (3) pelayanaan sosial, yang pada dasarnya juga tidak dapat lepas dengan prinsip habilitasi dan rehahilitasi di atas.
f. Tunalaras
1). Prinsip Kebutuhan dan Keaktifan
Anak tunalaras selalu ingin memenuhi kebutuhan dan keinginannya tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. Untuk memenuhi Kebutuhannnya itu, ia menggunakan kesempatan yang ada tanpa mengingat kepentingan orang lain. Kalau perlu melanggar semua peraturan yang ada meskipun ia harus mencuri misalnya. Hal ini jelas merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, guru harus memberi keaktifan kepada siswa supaya kebutuhannya terpenuhi dengan mempertimbangkan norma-norma kemasyarakatan, agama, peraturan perundangan-undangan yang berlaku, segingga dalam memenuhi keinginan dan kebutuhannya tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain.
2) Prinsip Kebebasan yang Terarah
Anak tunalaras memiliki sikap tidak mau dikekang. Ia selalu menggunakan peluang yang ada untuk berbuat sesuatu sehingga hatinya merasa puas. Oleh karena itu, guru harus berhati-hati ketika akan melarangnya. Nasehatilah kalau memang perlu dilarang. Di samping itu, guru hendaknya mengarahkan dan menyalurkan segala perilaku anak ke arah positif yang berguna, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
3) Prinsip Penggunaan Waktu Luang
Anak tunalaras biasanya tidak bisa diam, dia termasuk hiperaktif. Ada saja yang dikerjakan. Bahkan solah-olah mereka kekurangan waktu sehingga lupa tidur, istirahat, dan sebaginya. Oleh karena itu, guru harus membimbing anak degan mengisi waktu luangnya untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.
4) Prinsip Kekeluargaa dan Kepatuhan
Anak tunalaras berasal dari keluarga yang tidak harmonis, hubungan orang tua retak (broken home). Akibatnya emosinya tidak laras, jiwanya tidak tenang, rasa kekeluargaannyatidak berkembang, merasa hidupnya tidak berguna. Akibat lebih jauh mereka bersifat perusak, benci kepada orang lain.
Oleh karena itu, guru harus dapat meyelami jiwa anak, dimana letak ketidakselarasaan kehidupan emosinya. Selanjutnya, mengembalikannya kepada kehidupan emosi yang tenang, laras, sehingga rasa kekeluargaanya menjadi pulih kembali. Misalnya siswa disuruh membaca cerita yang edukatif, memelihara binatang, tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.
5) Prinsip Setia Kawan dan Idola serta Perlindungan
Karena tinggal di rumah tidak tahan, anak tunalaras biasanya lari keluar rumah. Kemudian ia bertemu dengan orang-orang (kelompok) yang dirasa dapat memebuat dirinya merasa aman. Di dalam kelompok tersebuat ia merasa menemukan tempat berlindung menggantikan orang tuanya, ia merasa tentram, timbul rasa setia kawan. Karena setianya kepada kelompok, ia berbuat apa saja sesuai perintah katua kelompoknya yang dijadikan idolanya.
Oleh karena itu, guru hendaknya secara perlahan-lahan berupaya menggantikan posisi ketua kelompoknya, menjadi tokoh idola siswa, dengan cara melindungi siswa, dan berangsur-angsur kelompoknya berganti dengan teman-teman sekelasnya, dan setia kawannya berganti kepada teman-teman sekelasnya, yang pada akhirnya mereka akan merasa senang bersekolah.
6) Prinsip Minat dan Kemampuan
Guru harus memperhatikan minat dan kemampuan anak terutama yang berhubungan dengan pelajaran. Jangan sampai karena tugas-tugas (PR) yang diberikan oleh terlalu banyak, akhirnya justru mereka benci kepada guru atau benci kepada pelajaran tertentu. Sebaliknya, guru harus menggali minat dan kemampuan siswa terhadap pelajaran, untuk dijadikan dasar memberi tugas-tugas tertentu. Dengan memberi tugas yang sesuai, mereka akan merasa senang, yang pada akhirnya lama-kelamaan mereka akan terbiasa belajar.
7) Prinsip Emosional, Sosial, dan Perilaku
Karena problem emosi yang disandang anak tunalaras, maka ia mengalami ketidakseimbangan emosi. Akibatnya siswa berprilaku menyimpang baik secara individual maupun secara sosial dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, guru harus berusaha mengidentifikasi problem emosi yang disandang anak, kemudian berupaya menghilangkannya untuk diganti dengan sifat-sifat yang baik sesuai dengan norma-norma yang erlaku di masyarakat dan agama, dengan cara diberi tugas-tugas tertentu yang terpuji, baik secara individual maupun secara kelompok.
8) Prinsip Disiplin
Pada umumnya anak tunalaras ingimn memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memenuhi keinginannya,tanpa mengindahkan norma-norma yang berlaku, sehingga ia hidup lepas dari disiplin. Sikap ketidaktaatan dan lepas dari aturan merupakan sikap hidupnya sehari-hari.
Oleh karena itu, guru perlu membiasakan siswa untuk hidup teratur dengan selalu diberi keteladanan dan pembinaan dengan sabar.
9) PrinsipKasih Sayang
Anak tunalaras umumnya haus akan kasih sayang, baik dari orang tua maupun dari keluarganya. Akibatnya anak akan selalu mencari kasih sayang dan menumpahkan keluhannya di luar rumah. Kalau ia tidak menemukannya akan menjadi agresif, cenderung hiperaktif, atau sebaliknya ia menjadi rendah diri, pendiam, atau meyendiri.
Oleh karena itu, guru supaya mendekati anak dengan penuh kasih sayang, kesabaran, sehingga kekosongan jiwa anak akan teisi atau terobati. Akibatnya, anak akan rajin ke sekolah karena merasa ada tempat untuk mencurahkan perasaanya. Pada akhirnya mereka akan menuruti nasehat guru untuk rajin belajar.
III. PELAKSANAAN KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR
Peksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di kelas reguler. Namun demikian. karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami kelainan/penyimpangan (baik phisik, intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis) dibanding dengan anak normal, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar hendaknya disesuaikan
dengan model penempatan anak luar biasa yang dipilih. Seperti dijelaskan pada
Mengenal Pendidikan Inklusif, penempatan anak luar biasa di sekolah
inklusif dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
2. Kelas reguler dengan cluster
3. Kelas reguler dengan ull out
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
5. Kelas khusus dengan berhagai pengintegrasian
6. Kelas khusus penuh.
Kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif akan berbeda baik dalam srategi, kegiatan media, dan metoda. Beberapa kegiatan belajar mungkin dilakukan berdasarkan literatur-literatur tertentu, sementara yang lainyna belajar yang sama akan lebih efektif apabila melalui observasi dan eksperimen. Beberapa anak memerlukan alat bantu tulis untuk mengingat sesuatu, mungkin yang lainnya cukup dengan hanya mendengarkan. Beberapa sisa mungkin memerlukan kertas dari pensil untuk mengingat suatu hubungan tertentu. sementara beberapa sisa lainnya cukup mengingat dengan hanya melihat saja. Beberapa sisa mungkin lebih senang belajar secara individual, sedangkan yang lainnya lebih senang secara berkelompok, Hilda Taba mengemukakan, bahwa berbedanya kebutuhan individu berbeda pula di dalam teknik belajar dalam upaya mengemhangkan dirinya. Dewasa ini isitilah strategi belajar banyak dipergunakan di dalam teori kognitif dan penelitian. Hal itu berhuhungan dengan strategi individu dalam hal pemusatan perhatian, pemecahan rnasalah. mengingat dan mengawasi proses belajar dan pemecahan masalah.
Hambatan belajar dapat berasal dan kesulitan menentukan strategi belajar dan metoda belajar lainnya sebagai akibat dan faktor-faktor biologis, psikologis, lingkungan, atau gabungan dan beberapa faktor tersebut. Sebagai contoh gangguan sensori seperti hilangnya penglihatan atau pendengaran, merupakan hambatan dalam memperoleh masukkan informasi dan luar berfungsi minimal otak mungkin akan berakibat yang cukup serius terhadap konsentrasi.
Pelaksanaan kegiatan belajar menjadi model kelas tertentu mungkin berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pada model kelas yang lain. Pada model Kelas Reguler (Inklusi Penuh), bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal mungkin tidak berbeda secara signifikan namun pada model Kelas Reguler dengan Cluster, bahan belajar antara anak luar biasa dengan anak normal biasanya tidak sama, bahkan antara sesama anak luar biasa pun dapat berbeda. Oleh karena itu, setelah ditetapkan model penempatan anak luar biasa, yang perlu dilakukan berikutnya dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
A. Merencanakan Kegiatan Belajar Mengajar
1. Merencanakan Pengelolaan Kelas
- Menentukan ruang kelas sesuai dengan tujuan pembelajaran
- Menentukan cara pengorganisasian siswa agar setiap siswa dapat terlihat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar, misalnya:
- Individual
- Berpasangan
- Kelompok kecil
- Kalsikal
- Menetapkan bahan utama (pokok) yang akan diajarkan
- Menentukan bahan pengadaan untuk siswa yang pandai
- Menentukan hahan remidi uiuuk sisa sang kurang pandat.
- Merumuskan tujuan pembelajaran
- Menentukan metode mengajar
- Menentukan urutan/langkah-langkah mengajar, misalnya:
• Pembukaan/apersepsi
• Kegiatan ini
• Penutup/evaluasi
- Menentukan sumber bahan pelajaran (misalnya Buku Paket, Buku Pelengkap, dan sebagainya)
- Menentukan sumber belajar (misalnya globe, foto, benda asli, benda tiruan, lingkungan alam, dan sebagainya)
- Menentukan bentuk penilaian (misalnya tes lisan, tes tertulis, tes perbuatan)
- Membuat alat penilaian (menuliskan soal-soalnya)
- Menentukan tindak lanjut.
B. Melasanakan Kegiatan Belajar Mengajar
1. Berkomunikasi dengan Siswa
- Melakukan apersepsi
- Menjelaskan tujuan mengajar
- Menjelaskan isi/materi pelajaran.
- Mengklarifikasi penjelasan apabila siswa salah mengerti atau belum
paham. - Menanggapi respon atau pertanyaan siswa
- Menutup pe1ajaran (misalnya merangkum, meringkas, menyimpulkan,
dan sebagainya)
- Menggunakan metode mengajar yang bervariasi (misalnya ceramah, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, dan sebagainya)
- Menggunakan berbagai sumber belajar (misalnya globe, foto, benda asli, benda tiruan, lingkungan alam, dan sebagainya)
- Memberikan tugas/lauhan dengan memperhatikan perhedaan individual
- Menggunakan ekspresi lisan dan/atau penjelasan tertulis yang dapat mempermudah siswa untuk memahami materi yang diajarkan.
a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk terlihat secara aktif (misalnya dengan mengajukan pertanyaan, memberi tugas tertentu, mengadakan percohaan berdiskusi secara berpasangan atau dalam kelompok kecil, belajar berkooperatif)
b. Memberi penguatan kepada siswa agar terus terhihat secara aktif
c. Memberikan pengayaan (tugas-tugas tambahan) kepada siswa yang pandai
d. Memberikan latihan-latihan khusus (remidi) bagi siswa yang dianggap memerlukan.
4. Mendemostrasikan Penguasaan Materi Pelajaran dan Relevansinya dalam Kehidupan.
- Mendemostrasikan Penguasaan materi pelajaran secara meyakinkan (tidak ragu-ragu)
- Menjelaskan relevansinya materi pe1ajaran yang sedang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari.
- Menggunakan waktu pengajaran secara efektif sesuai dengan yang
direncanakan. - Mengelola ruang kelas sesuai dengan karakteristik siswa dan tujuan pembelajaran.
- Menggunakan bahan pengajaran (misalnya bahan praktikum) secara etisien
- Menggunakan pertengkapan pengajaran (misalnya peralatan percohaan) secara efektifdan efisien.
- Melakukan penilaian selama kegiataan belajar-mengajar berlangsung (baik secara lisan, tertulis, maupun pengamatan)
- Mengadakan tindak lanjut hasil penilaan.
1. Bersikap Terbuka Toleran, dan Simpati terhadap Siswa
- Menunjukkan sikap terbuka (misalnya mendengarkan, menerima, dan sebagainya terhadap pendapat sisa
- Menunjukkan sikap toleran (mau mengerti) terhadap siswa
- Menunjukkan sikap simpati (misalnya menunjukkan hasrat untuk memherikan bantuan) terhadap permasalahan/kesulitan yang dihadapi siswa
- Menunukkan sikap sahar (tidak niudah marah dan kasib sayang terhadp siswa.
- Menunjukkan kegairahan dalam mengajar
- Merangsang minat siswa untuk belajar
- Memberikan kesan kepada siswa bahwa ia menguasai bahan yang diajarkan
- Memberikan ganjaran (reward) terhadap siswa yang herhasil
- Memberikan bimbingan khusus terhadap siswa yang belum berhasil
- Memberikan dorongan agar terjadi interaksi antarsiswa
- Memberikan dorongan agar terjadi interaksi anatara siswa dengan guru